Menelusuri Perbedaan Penentuan Awal Puasa di Indonesia: Sejarah, Tradisi, dan Keberagaman

Senin, 03 Maret 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Halo, Guys! Momen yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba: Ramadan 1446 Hijriah. Mulai 1 Maret 2025, kita menjalani salah satu bulan paling spesial dalam setahun.

Menariknya, kali ini awal puasa enggak ada perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua ormas terbesar di Indonesia. Padahal keduanya punya cara berbeda untuk menentukan kapan Ramadan dimulai.

Muhammadiyah cenderung menggunakan metode perhitungan (hisab), sedangkan Nahdlatul Ulama memakai cara pengamatan (rukyat) terhadap hilal (bulan sabit baru). Karena itulah, ada masa-masa tertentu keduanya memulai puasa dalam waktu yang berbeda.

Hmm, pernah enggak sih kalian berpikir, kenapa mula puasa kadang beda antar satu tempat dengan tempat lainnya?

Sering kali, awal Ramadan kita mirip dengan nge-load gim yang kadang loading-nya lama dan bikin penasaran. Ada yang lebih duluan dapet 'quest' buat mulai puasa, ada yang berdasar 'update' terakhir.

Meskipun beda, setiap caranya menyimpan cerita dan keseruan tersendiri. Justru, perbedaan inilah yang bikin Ramadan semakin warna-warni, kaya fungsi-fungsi unik dalam sebuah gim yang saling melengkapi.

Jejak Beda Metode Rukyat dan Hisab dalam Sejarah Indonesia

Sejenak kita melongok ke sebuah peristiwa terkenal pada abad ke-16. Ketika itu, ulama-ulama Kesultanan Demak berdebat hangat menjelang Ramadan.

Perbedaan mula bulan puasa sering kali terjadi pada masa lampau akibat perbedaan metode. Salah satu kisah paling sohor berasal dari perdebatan

H.J. de Graaf, sejarawan Belanda, dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa mencatat, kala itu ulama Kesultanan Demak bermusyawarah menjelang bulan puasa.

Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga menggunakan pandangan dan pendekatan berbeda dalam menentukan awal puasa.

Sunan Kudus dan Sunan Kaliaga
Ilustrasi Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. (Foto: YouTube/Yohan Kustanto)

Sultan Trenggana, penguasa Demak, memihak Sunan Kalijaga. Tapi sumber Tambo yang dikutip oleh De Graaf enggak menjelaskan metode apa yang digunakan Sunan Kalijaga dan didukung Sultan Trenggana.

Akibat perselisihan itu, Tambo menyebut Sunan Kudus pergi dari Demak. Lalu dia mendirikan kota Kudus pada 1549.

Tapi De Graaf melihat kepergian Sunan Kudus secara berbeda.

“Perselisihan dengan raja Demak, yang menyebabkan tokoh yang kelak bernama Sunan Kudus itu terpaksa angkat kaki dari Demak, karena alasan yang lebih dalam daripada sekadar salah paham tentang permulaan bulan puasa,” sebut De Graaf.

Jadi, meskipun Sunan Kudus berbeda pendapat dengan ulama dan penguasa Demak, ia enggak lantas minggat. Ada hal lain yang lebih prinsipil daripada perbedaan puasa yang menyebabkan ia minggat.

"Dapat diduga bahwa ada iri hati antara yang kelak bernama Sunan Kudus - yang di Demak menjadi penghulu Masjid Suci - dan Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Pangeran Tranggana telah pindah ke Demak dari Cirebon," ungkap De Graaf.

Perselisihan penentuan awal bulan puasa juga pernah dicatat oleh Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang tekun membahas karakteristik umat Islam di Hindia Belanda, nama lama Indonesia.

Selama tinggal di Aceh pada 1893, Snouck mempelajari tradisi penetapan bulan puasa 'kaum Mohammadan', sebutan Snouck buat umat Islam.

Rukyat Dianut Mayoritas Umat Islam Nusantara

Menurut Snouck, umat Islam umumnya bersepakat bahwa permulaan puasa harus jatuh setelah bulan baru dari bulan Ramadan terlihat oleh beberapa saksi yang kesaksian mereka disahkan oleh pejabat berwenang.

"Jadi, kalau penglihatan itu tidak terjadi sesudah hari ke-29 dari bulan sebelum bulan Ramadan, maka puasa pun dimulai sesudah hari ke-30 bulan tersebut, meskipun sudah pasti Bawah bulan seharusnya tampak di langit yang tidak berawan pada malam sebelum hari ke-30," singkap Snouck dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 VIII.

Oya, dalam tradisi keilmuan Islam, benda angkasa seperti bulan dan matahari itu jadi patokan buat menentukan waktu beribadah.

Bulan menentukan kapan puasa dan Lebaran, sedangkan matahari berguna buat memastikan waktu salat.

Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje, intelektual Belanda yang tekun meneliti karakter umat Islam di Hindia Belanda. (Foto: KITLV Digital Image)

Nah, metode penyaksian atau pengamatan bulan disebut rukyat. Metode ini menggantungkan hasilnya pada orang yang ditugaskan melihat hilal. Syaratnya, mereka harus jujur dan bisa dipercaya.

"Beberapa orang keluar untuk mengamati bulan dari tempat-tempat yang luas cakrawalanya," kata Snouck.

Metode rukyat diyakini lebih kuat daripada hisab buat menentukan awal bulan Ramadan.

“Menurut ajaran Syafi’i dari hukum Islam, penetapan tanggal perayaan yang berhubungan dengan agama tidak boleh ditetapkan dengan perhitungan, tetapi awal setiap bulan ditetapkan dengan melihat bulan baru,” ungkap Snouck dalam buku Aceh di Mata Kolonialis I.

Hukum Syafi’i dianut oleh mayoritas umat Islam di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Karena itulah metode rukyat hukum Syafi’i lazim digunakan.

Hukum Syafi'i merujuk kepada sekumpulan ikhtiar atau usaha Imam Syafi'i (hidup 767-821 M) memberikan panduan praktis buat beribadah, seperti salat, zakat, puasa, dan wudu.

Meski rukyat digunakan secara luas pada masa kolonial, itu enggak berarti meniadakan pemahaman dan pendekatan lain untuk menentukan awal puasa.

“Walaupun orang Islam di Nusantara ini menganut ajaran Syafi’i, tetapi ru’ya (rukyat-Red.) itu tidak diikuti secara merata, dan di berbagai daerah orang tetap memakai perhitungan (hisab),” tambah Snouck.

Hisab Kuat di Aceh

Di Aceh, para ulama menggunakan konsep astronomi Arab dari abad pertengahan buat menghitung (hisab) awal puasa. Mereka berkumpul dalam satu dewan ahli khusus yang diangkat oleh sultan.

Biasanya mereka menetapkan awal bulan puasa pada hari Jumat terakhir sebelum masuk bulan puasa.

“Hari (tanggal) itu diumumkan kepada rakyat dengan tembakan meriam pada hari sebelumnya,” terang Snouck.

Orang Aceh menggunakan metode hisab lantaran memiliki tradisi merayakan pesta-pesta rakyat tertentu di ibu kota 2-3 hari sebelum puasa.

Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh memegang metode hisab untuk menentukan awal puasa Ramadan. (Foto: Delpher)

“Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk mendapat kepastian yang cukup lama sebelum waktunya tiba, baik mengenai awal maupun akhir puasa,” tulis Snouck.

Ini menjelaskan mengapa metode rukyat kurang berkembang dan datang terlambat di Aceh.

Metode rukyat mulai masuk di Aceh pada abad ke-19. Pembawanya bernama Habib Abdurrahman. Tapi usaha itu tak banyak mendapat sambutan.

Seorang asing dari Timur Tengah bernama Tengku Bitay juga tercatat sebagai penganut metode rukyat. Dia pernah berselisih dengan sultan tentang awal bulan puasa.

“Sang Teungku menegaskan bahwa dia telah melihat bulan baru; oleh sebab itu puasa harus dimulai besoknya. Tetapi sultan mengatakan bahwa esok malam baru muncul bulan baru, sehingga puasa dimulai esok harinya lagi,” catat Snouck dalam Aceh di Mata Kolonialis II.

Dalam perselisihan itu, pendapat Tengku Bitay lebih kuat. Sultan pun harus mengakui kebenaran pernyataan sang Teungku.

Sebenarnya perbedaan dalam menentukan awal bulan puasa enggak hanya berasal dari penganut metode rukyat dan hisab. Sesama penganut metode rukyat pun bisa menghasilkan awal bulan puasa yang berbeda.

“Bahkan terkadang terjadi antara kampung-kampung yang berdekatan,” terang Snouck dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 VIII.

Beda waktu awal puasa antarsesama penganut rukyat itu berasal dari perbedaan garis lintang, tebal tipisnya udara, dan sebagainya.

“Maka tidak heran jika setiap tahun awal puasa dan Lebaran di seluruh dunia Mohammadan berbeda dari tempat ke tempat,” lanjut Snouck.

Untuk memberitahu bahwa daerahnya sudah masuk bulan puasa, para penghulu (pejabat keagamaan Islam) di Hindia Belanda akan berkabar melalui surat ke penghulu wilayah lain.

“Di tempat kami orang sudah mulai berpuasa pada hari...” demikian kepala surat itu.

Menghadapi Beda Awal Puasa dengan Jiwa Besar

Selain melalui surat, awal puasa melalui metode rukyat juga ditandai dengan pukulan bedug bertalu-talu.

“Isyarat bedug memberitahukan kepada jemaah kampung bahwa bulan puasa sudah datang,” ungkap Mohammad Roem, seorang ahli hukum yang pernah mengalami puasa pada masa kolonial dalam artikel “Awal dan Akhir Bulan Puasa: Sikap Seorang Awam” yang termuat dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah II.

Namun, lucunya, suara bedug kadang kedengaran agak telat. Jadi, orang menunggu agak lama, baru taraweh.

Meski sering terjadi perbedaan dan perselisihan penetapan awal puasa, Snouck menilai hal itu bukan sesuatu yang mengundang perpecahan di kalangan umat Islam Hindia Belanda. Ini karena perbedaan itu diakomodasi oleh para ulama.

Mohammad Roem
Mohammad Roem, diplomat sekaligus praktisi hukum Indonesia, mencoba memandang perbedaan puasa sebagai dialog yang baik. (Foto: Nationaal Archief).

“Penyimpangan-penyimpangan secara perseorangan atas dasar pemahaman lain, oleh syariat Mohammadan diakui sebagai sesuatu yang dibolehkan. Malahan terkadang diakui sebagai wajib. Maka pemerintah-pemerintah Mohammadan biasanya membiarkan hal itu tanpa ada gangguan,” tulis Snouck.

Mohammad Roem pun memiliki pendapat serupa. Adanya perbedaan penentuan awal puasa bukanlah perpecahan.

Roem pernah mengikuti metode rukyat pada masa kolonial, tapi berubah ke metode hisab ketika masa kemerdekaan. Menurutnya, rukyat dan hisab sama-sama diperbolehkan dalam agama.

Roem juga enggak merasa minder dengan metode rukyat yang dianggap lebih jadul daripada metode hisab.

“Bagi saya mengikuti bedug, sama saja dengan mengikuti ilmu falak,” kata Roem.

Ilmu falak yang mempelajari benda langit menjadi dasar metode hisab. Karena berdasarkan ilmu itu lah, metode hisab dianggap lebih maju daripada rukyat.

Roem meyakini perbedaan penentuan awal puasa sebagai dialog yang baik.

"Hanya kita yang bersalah memandang hal itu sebagai perpecahan," kata Roem.

Jadi, Guys, seperti nge-gim, terkadang kita mulai di tempat yang berbeda, tapi semua menuju ke 'level akhir' yang sama: Ramadan penuh berkah.

Yuk, nikmati setiap detik petualangan ini, sambil senyum saat bedug berkumandang. Pengalaman yang bikin seru, kan?

Kalau lupa jadwal buka, ya jangan lupa cek di iqra.merahputih.com. (dru)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan