Perdebatan Libur Puasa Anak Sekolah, Pola Sejarah yang Berulang


Dulu perdebatan libur puasa sangat menyita perhatian masyarakat. (Foto: KITLV)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Habis kemarin bahas soal pengertian sejarah, guna sejarah, dan posisi manusia dalam sejarah, sekarang redaksi MP bakal mengajak kamu ngobrolin pengulangan pola dalam sejarah.
Peristiwa sejarah itu sebenarnya cuma terjadi sekali (einmalig) dan unik, tapi pola-polanya itu bisa jadi berulang.
Kasusnya kita ambil dari yang belakangan lagi hype, yaitu gagasan libur puasa buat anak sekolah selama sebulan penuh untuk Ramadan 1446 H atau Februari-Maret 2025. Lama banget ya!
Gagasan ini muncul dari Kementerian Agama (Kemenag) akhir tahun 2024. Biarpun begitu, belum ada keputusan pasti dari Kemendikdasmen buat meliburkan anak sekolah dari jenjang SD sampai SMA selama satu bulan penuh. Makanya sabar dulu. Kamu jangan kelewat berharap ya!
Meski baru gagasan, soal libur anak sekolah selama puasa ini akhirnya gelinding jadi debat. Ada yang setuju, ada yang enggak. Karena itu, anggota DPR minta Kemenag dan Kemendikdasmen duduk bareng bahas ini.
Tahu enggak sih sebenarnya libur puasa anak sekolah ini diterapkan dari zaman kolonial Belanda sampai masa kemerdekaan?
Terus pas zaman Orde Baru (1966-1998) keputusan ini diubah. Pengubahan ini yang bikin banyak pihak ngotot-ngototan, baik dari DPR, Kementerian, guru, maupun orangtua siswa.
Mau tahu kisahnya gimana dan apa hubungannya dengan keadaan kita hari ini? Simak ya.
Baca juga:
Manusia sebagai Subjek, Objek, dan Saksi Sejarah, Mengungkap Kisah di Balik Perubahan Zaman
Menghapus Tradisi Masa Kolonial
Jadi, begini. Pas masa Orde Baru, ada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (singkatannya waktu itu Menteri P&K) bernama Daoed Joesoef. Dia baru dua bulan diangkat jadi menteri pada Mei 1978.
Meski baru dua bulan, Menteri Daoed sudah mengusulkan gagasan mengejutkan, yaitu menghapus libur puasa sebulan penuh bagi anak sekolah sepanjang Ramadan. Keputusan itu akan mulai berlaku pada tahun ajaran 1979/1980.
Menteri Daoed punya gagasan itu setelah melihat pelajar Indonesia ketinggalan jauh dari negara lain dari segi akademis. Dia ingin pelajar Indonesia lebih berkualitas.
Supaya bisa mencapai tujuan itu, maka pelajar harus lebih giat belajar. Salah satu caranya dengan mengurangi waktu libur puasa selama Ramadan seperti di negara-negara mayoritas Islam lainnya kayak Malaysia, Arab Saudi, Pakistan, dan beberapa negara Arab. Di sana, biarpun puasa, anak-anak sekolah tetap masuk.

Kerena Menteri Daoed seorang pemeluk Islam, dia juga mengambil argumennya dari Al-Quran, dari ayat pertama surat Al-Alaq yang bunyi awalnya "Iqra" atau berarti "bacalah!".
Menurut Menteri Daoed, ayat ini sudah jelas perintah buat terus belajar. Karena itu, meski bulan puasa, para pelajar enggak seharusnya libur panjang.
Soal kenapa pemerintah kolonial Belanda meliburkan pelajar sebulan penuh pas Ramadan, Menteri Daoed punya pendapat bahwa keputusan itu strategi pemerintah kolonial buat membodohi tunas bangsa.
“Artinya, kebijakan Belanda itu semata-mata untuk meninabobokan kita. Kalau karena libur sekolah selama sebulan penuh anak-anak Muslim kita menjadi tertinggal keintelektualannya, yang rugi bukan Belanda tetapi kita sendiri,” kata Daoed dalam memoarnya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.
Baca juga:
Apa sih Guna Sejarah? Dari Mengangkat Orang-Orang Kecil sampai Fondasi untuk Bangun Masa Depan
Biarpun Libur, Sebenarnya Tetap Belajar
Pas masih kecil, Menteri Daoed juga ikut mengalami zaman kolonial. Tapi dia bilang libur puasa itu cuma buat pelajar sekolah Angka Lara alias sekolah dasar yang pendidikannya cuma tiga tahun.
Menteri Daoed dulunya pelajar HIS (Hollandsch-Inlandsche School) alias sekolah dasar yang pendidikannya enam tahun, tapi enggak libur sebulan penuh pas bulan puasa.
Meski punya gagasan, Menteri Daoed ingin tahu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dia menganggap MUI, sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan Umat Islam, perlu didengarkan. Karena itu, dia bertemu dengan MUI pada 16 Mei 1978 buat membahas penghapusan libur puasa.
Dalam pertemuan itu, MUI minta soal libur puasa sebaiknya dibicarakan dengan lebih banyak pihak yang berkepentingan seperti Menteri P&K, Menteri Agama, dan MUI. Semua harus diskusi panel atau duduk bareng membahas persoalan. Sayangnya, usulan itu enggak digubris oleh Menteri Daoed.

H. Amiruddin Siregar, sekretaris MUI yang merekam kesaksiannya dalam Risalah Kronologis Peranan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dalam Masalah Pendidikan Nasional dan Libur Ramadhan, menceritakan bahwa "Menteri Daoed Joesoef menganggap tidak perlu untuk mengadakan diskusi panel tersebut."
Menteri Daoed bahkan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 02111/U/1978 tentang Sistem Tahun Ajaran Sekolah pada 5 Juli 1978.
Isi surat itu menyebut bulan puasa adalah waktu belajar dan libur puasa jadi cuma 10 hari. Tiga hari pas permulaan puasa, tujuh hari lagi dibagi di sebelum dan setelah Lebaran. Ini berarti pertama kalinya pelajar di Indonesia enggak libur penuh di bulan puasa sejak masa kolonial!
Surat Keputusan ini langsung dapat reaksi negatif dari banyak pihak. Menteri Daoed juga dikritik habis-habisan karena dianggap bertindak semaunya sendiri.
Perdebatan ini terus berlangsung sampai tahun 1979 dan makin panas menjelang tahun ajaran baru 1979/1980.
Buya Hamka, ketua MUI waktu itu, dalam khutbah Jum'at di Masjid Al-Azhar pada 27 April 1979, mengatakan bahwa libur puasa sebulan penuh bermanfaat buat pelajar dan orangtuanya.
Kalau libur sebulan penuh, pelajar bisa menjalankan kewajiban puasa Ramadan. Sementara bagi orangtua, libur puasa anak sekolah bakal memberikan kesempatan lebih untuk mengajarkan agama ke anak-anaknya.
Meski enggak menerima keputusan Menteri Daoed, Buya Hamka berpesan kepada umat Islam agar jangan emosian menghadapi keputusan tersebut.
"Mengajak umat Islam umumnya, para jama'ah Jum'at khususnya, untuk mendoakan kepada Allah yang Maha Kuasa, semoga Allah memberikan kesadaran pada pemimpin-pemimpin kita yang mungkin keliru," kata Hamka seperti dicatat oleh koran jadul waktu itu, Pelita, 30 April 1979.
Seorang anggota DPR dari Komisi IX (Pendidikan), yaitu Sjafei Sulaiman, berada di pihak Hamka. Dia bilang keputusan Menteri Daoed bertentangan dengan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No, 4 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pendidikan.
Pasal tersebut berbunyi "Menteri P&K menetapkan mengenai hari-hari libur sekolah dengan mengingat kepentingan pedidikan, faktor musim, faktor agama, dan hari-hari raya".
Dalam pikiran Sjafei, SK itu enggak menyertakan penetapan libur dari pertimbangan faktor agama. Begitu katanya seperti direkam koran Pelita, 4 Mei 1979.
Anggota DPR lain yang bernama Ali Yafie juga mendukung libur sebulan penuh. Menurut dia, sebenarnya selama puasa, pelajar enggak libur, melainkan cuma beda cara belajarnya. Yang biasanya belajar di sekolah oleh guru, jadi belajar agama di rumah oleh orangtuanya.
Guru-guru sekolah agama juga mendukung libur sebulan penuh. Sementara guru-guru sekolah negeri ikut saja apa kata pemerintah.
Baca juga:
Apa Itu Sejarah, Pengertian, dan Asal-Usulnya: Cerita Seru di Balik Masa Lalu Kita!
Debat Libur Puasa sampai ke Presiden
Karena perdebatan penghapusan libur puasa sebulan penuh ini kian kuat, MUI akhirnya minta waktu ketemu dengan Presiden Soeharto. Syukurnya, Presiden memenuhi permintaan itu.
Dalam pertemuan itu, MUI tetap berharap pemerintah meliburkan anak sekolah selama puasa sebulan penuh.
Menanggapi harapan MUI itu, Presiden Soeharto enggak langsung menyetujui atau menolaknya. Dia cuma bisa menjanjikan bahwa libur puasa akan ditambah dibanding yang dijelasin dalam SK Menteri Daoed.
Presiden Soeharto juga menjamin bahwa engggak ada niatan mengganggu atau memberatkan pelajar dalam menjalani kewajiban ibadah puasa.

Perdebatan libur puasa lama-lama mulai menurun. Enggak begitu panas lagi.
MUI, ormas Islam, dan anggota DPR dari partai Islam mulai bisa menerima keputusan itu. Mereka juga menyepakati sebenarnya libur puasa bukan sesuatu yang prinsipil, tapi isu tetap bagian dari kebersatuan umat Islam untuk menghadapi keputusan yang dipandang keliru.
Keputusan menghapus libur puasa sebulan penuh berlangsung sampai tahun 1999. Era Presiden Gus Dur (1999-2001), para pelajar sempat merasakan lagi libur puasa sebulan penuh.
Kemudian pas era Presiden Megawati (2001-2004), libur puasa sebulan penuh dihapus lagi. Keputusan ini bertahan hingga sekarang.
Nah, dari kisah tadi kelihatan jelas kan bahwa pola sejarah ternyata berulang. Dulu perdebatan libur puasa sangat menyita perhatian masyarakat. Sampai dibawa ke Presiden.
Sekarang pun, soal libur atau enggak libur sebulan penuh pas puasa, jadi bahan obrolan lagi di berbagai lapisan masyarakat.
Meski panas dan banyak argumen dikeluarkan, perdebatan jadul soal libur puasa enggak sampai bikin masyarakat terpecah. Sekarang pun juga mestinya kayak begitu ya.
Kebukti kan sejarah itu bisa jadi pelajaran yang relevan dengan mempelajari pola-pola yang berulang? Kamu sendiri milih libur sebulan penuh atau beberapa hari aja?
Apa pun pilihanmu soal libur puasa, yang penting kamu tetap ikuti artikel-artikel sejarah di MP, ya!
Kapan-kapan, kita lanjut lagi ke bahasan seru lainnya! (dru)
Baca juga:
DPR Minta Kemenag dan Kemendikdasmen Duduk Bersama Bahas Libur Sekolah Selama Ramadan
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
23 September Memperingati Hari Apa: Ini Fakta Lengkapnya

22 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peringatan Penting dan Fakta Menariknya

19 September Memperingati Hari Apa? Fakta Sejarah Ini Jarang Diketahui!

18 September Memperingati Hari Apa? Kamu Harus Tahu!

16 September Memperingati Hari Apa? Ini 5 Sejarah Penting yang Terjadi

15 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Hari Penting dan Fakta Menariknya

13 September Memperingati Hari Apa? Ini 7 Peringatan dan Fakta Menarik di Baliknya

12 September Memperingati Hari Apa? Peristiwa Bersejarah hingga Perayaan Unik Dunia

9 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Fakta Mengejutkan

7 September Memperingati Hari Apa? Munir Meregang Nyawa di Udara
