Sultanah Nahrasiyah, Jejak Perempuan Pemimpin dari Samudra Pasai

Jumat, 14 Maret 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah dengar nama Sultanah Nahrasiyah? Kalau belum, yuk kita kenalan dengan salah satu tokoh perempuan dari Aceh ini.

Nama Nahrasiyah mungkin enggak setenar Laksamana Keumalahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia. Mereka semua perempuan Aceh yang hidup pada masa yang jauh dari kita, namun menorehkan teladan panjang buat berbagai generasi.

Saking abadinya amal bakti mereka, nama-nama mereka jadi nama jalan di berbagai kota dan provinsi di luar Aceh.

Meski nama Nahrasiyah kalah tenar, ia bisa dikatakan pelopor kepemimpinan perempuan di Aceh. Bahkan secara lebih luas, namanya melengkapi sejarah panjang peran perempuan dalam masyarakat Nusantara.

Nah, siapa sebenarnya dan apa peran Nahrasiyah? Penasaran kan? Yuk kita bahas.

Kedudukan Perempuan di Samudra Pasai

Sultanah Nahrasiyah, atau yang sering disebut juga Nahrisyah, adalah salah satu ratu yang pernah memimpin Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan bercorak Islam di Sumatra.

Samudra Pasai berdiri sejak tahun 1267 Masehi di pesisir utara Sumatera bagian timur.

Samudra Pasai berkembang pesat jadi kota pelabuhan dagang yang penting, yang menghubungkan jalur perdagangan Nusantara dengan India, China, Arab, dan Eropa sepanjang abad ke-14.

"...Kerajaan Pasai menjadi wilayah yang makmur dan kaya, dengan pedagang-pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri Moor dan Keling," catat Tome Pires, penjelajah samudera dari negeri Portugis yang mengunjungi Pasai pada sekitar tahun 1510-an, dalam buku Suma Oriental.

Peta Penjelajahan Portugis Abad ke-16
Peta hasil penjelajahan pelaut Portugis pada abad ke-16, Samudra Pasai terletak di sebelah kanan bawah. (Foto: theglobalhistorypodcast.com)

Oya, Moor itu sebutan buat orang-orang Spanyol beragama Islam, sedangkan Keling adalah orang-orang Islam dari India Selatan.

Selain orang Moor dan Keling, Samudra Pasai dihuni oleh pedagang dari Rum (Italia), Turki, Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa, dan Siam (Thailand).

Karena didatangi oleh orang dari berbagai negeri, Samudra Pasai tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh berbagai kultur, seperti lokal, Arab, Persia, Gujarat, dan Islam.

Nah, kultur-kultur itu ikut berperan dalam memandang dan menempatkan perempuan di masyarakat. Misalnya tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Islam.

Dalam Islam, perempuan menempati kedudukan yang setara dengan lelaki. Ini ditegaskan oleh dua sumber hukum Islam, al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad.

Surat at-Taubah ayat 9 menyebutkan bahwa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, menjadi penolong bagi sebagian yang lain.

Sedangkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa perempuan ibarat saudara laki-laki dan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan beribadah kepada Allah SWT.

Nah, beberapa pemimpin Samudra Pasai punya ketertarikan mendalam terhadap ajaran Islam. Ibnu Batuttah, penjelajah samudera dari Maroko yang pernah mengunjungi Pasai selama 15 hari pada sekitar tahun 1345, menyebut salah satunya.

"... melaporkan bahwa Raja Samudera Pasai saat itu Sultan Malik al-Zahir sangat gemar belajar Islam kepada para ulama," sebut Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.

Karena pengaruh ajaran Islam inilah, perempuan Pasai bisa menduduki posisi sebagai pucuk pemimpin. Meski begitu, memang enggak semua perempuan bisa jadi pemimpin kerajaan.

Sebab kerajaan punya tradisi internal dalam memilih pemimpin, yaitu mendasarkan pada garis keturunan atau kekerabatan.

Silang Pendapat tentang Nahrasiyah

Nah, Nahrasiyah adalah putri dari Sultan Haidar bin Said ibnu Sultan Zainal Abidin bin Sultan Ahmad bin Sultan Muhammad bin Malikus Saleh. Demikian menurut H.M. Zainuddin, sejarawan Aceh, dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara.

Berdasarkan keterangan di nisan yang penuh ukiran dan ornamen indah di permakaman penguasa Pasai di Desa Meunasah Kuta Krueng, Aceh, Nahrasiyah wafat pada 17 Zulhijjah 831 Hijriah atau tahun 1428 Masehi.

Namun, ada perbedaan mengenai kapan Nahrasiyah mulai memegang tampuk kekuasaan Pasai.

Ahmet Adam, sejarawan Melayu asal Malaysia, menyebut bahwa Nahrasiyah hanya memerintah dalam waktu yang singkat.

Salah satu potongan isi Hikayat Raja Pasai
Salah satu potongan isi manuskrip/naskah kuno Hikayat Raja Pasai yang berkisah tentang penguasa Pasai. (Foto: blogs.bl.uk)

Ahmet menyebut ayah Nahrasiyah adalah Sultan Zainal Abidin yang naik takhta pada tahun 1412. Ia adalah anak tiri dari raja Pasai yang naik takhta pada 1405 yang punya gelar yang sama dengannya, yaitu Zainal Abidin.

Kemudian sultan Zainal Abidin ayah Nahrasiyah itu wafat pada 1426. Ia digantikan oleh Nahrasiyah.

"Dapat diduga Nahrisyah berkemungkinan besar telah naik tahkya pada akhir tahun 1426 ataupun pada tahun 1427 dan pemerintahannya ternyata singkat sekali," kata Adam dalam Hikayat Raja Pasai.

Namun keterangan berbeda muncul dari H.M. Zainuddin yang menyebut Nahrasiyah memerintah dari tahun 1420. Sedangkan Teuku Ibrahim Alfian, sejarawan Aceh lainnya sekaligus penulis buku Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh, menyatakan masa kekuasaan Nahrasiyah berlangsung pada 1405-1412.

Duh, jadi mana yang benar, dong?

Hal seperti ini lazim terjadi dalam sejarah. Mengingat perbedaan dari perolehan dan pembacaan sumber.

Namun, menurut catatan musafir atau pengembara China yang bernama Ma Huan, nama Nahrasiyah enggak disebut sama sekali sepanjang 1405-1428.

Ma Huan mencatat ada pertumpahan darah di Samudra Pasai pada 1405 yang menyebabkan Raja Pasai bernama Sultan Zainal Abidin gugur.

"Dia meninggalkan seorang bayi laki-laki yang belum bisa membalas dendam ayahnya," tulis Ma Huan seperti dikutip oleh W.P. Groeneveldt dalam buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa.

Istri dari raja tersebut kemudian bersumpah bahwa laki-laki yang bisa membalas kematian suaminya, akan menjadi pengganti suaminya sebagai raja dan dia bersedia menikah dengan laki-laki tersebut.

Nah, menurut Teuku Ibrahim Alfian, Nahrasiyah adalah sang istri dari sultan yang terbunuh tadi. Jadi, ia bukan anak Zainal Abidin.

Seorang nelayan berhasil menuntaskan misi itu, lalu naik takhta jadi raja serta bergelar Sultan Sallah ad-Din. Ia lalu pergi bertugas ke Negeri Cina dan menemui ajalnya. Dialah sultan yang kemudian dibunuh oleh anak tirinya.

"Ketika kembali dari negeri Cina, Sultan Sallah ad-Din ini dibunuh oleh anak tirinya Abu Malik az-Zahir pada 1412," tulis Teuku Ibrahim Alfian.

Di sini ada perbedaan pendapat antara Ahmet Adam dan Teuku Ibrahim Alfian. Ahmet menyebut yang naik takhya pada 1412 adalah Sultan Zainal Abidin, yang kemudian menjadi ayah Nahrasiyah.

Sedangkan Ibrahim Alfian menyatakan bahwa yang naik takhta pada 1412 adalah Abu Malik az-Zahir.

Catatan Tionghoa sendiri enggak menyebut secara jelas siapa penguasa Samudra Pasai kala itu. Catatan hanya menyebut bahwa saat itu yang berkuasa adalah lelaki. Bukan perempuan.

Dalam tradisi Samudra Pasai, para penguasa biasanya dihormati dengan mengabadikan namanya di koin emas alat perdagangan.

Nah, nama Nahrasiyah enggak muncul di koin-koin emas tersebut. Jadi, makin ribet ya?

Makam Terindah

Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru menganggap Nahrasiyah enggak pernah pemimpin. Sebab bukti kepemimpinannya sangat jelas dari keterangan di makamnya.

Makam Nahrasiyah bahkan dianggap paling indah se-Sumatera.

"Makam ini sangat indah dilihat dari bahan, bentuk dan hiasan yang ada di dalamnya. Makam ini terbuat dari bahan batu pualam berwarna putih yang didatangkan langsung dari Gujarat," tulis tim Dirjen Kebudayaan dalam Album Nisan Samudra Pasai.

Menurut keyakinan penjaga makam, Nahrasiyah memerintah dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya.

Makam Sultanah Nahrasiyah
Keindahan makam Sultanah Nahrasiyah masih bisa dinikmati hingga sekarang. (Foto: YouTube/Maritime Asia Heritage Survey)

Pada masa Nahrasiyah pula, pendirian paham tarekat atau grup persaudaraan kaum sufi yang beraliran wujudiyah mencapai puncaknya.

Aliran wujudiyah adalah aliran dalam tasawuf yang mengajarkan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah manifestasi dari Tuhan.

Bayangkan kalau Tuhan itu seperti lautan, dan kita semua adalah ombaknya. Kita muncul dari lautan dan akan kembali ke sana.

Sepanjang kepemimpinannya, Nahrasiyah menerapkan beberapa kebijakan buat kemajuan Kerajaan Samudera Pasai.

"Dia mampu mengendalikan ekonomi di Asia Tenggara, mengeluarkan koin emas sebagai mata uang selain dinar," ungkap Fitriani dalam Hubungan Luar Negeri pada Masa Kepemimpinan Ratu Nahrisyah dalam Kerajaan Samudera Pasai (1406-1428), tesisnya di Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Nahrasiyah berupaya menjaga hubungan baik antara Pasai dengan kerajaan luar negeri. Menurut Fitriani, berkat pendekatan diplomasi ini, Samudera Pasai dapat membangun stabilitas ekonomi, politik, dan budaya.

Meski catatan pemerintahan Nahrasiyah lebih banyak berasal dari tuturan lisan warga lokal, jasa Nahrasiyah dalam memimpin masyarakat Pasai terekam jelas dalam desain dan inskripsi atau tulisan berhuruf dan bahasa Arab di makamnya.

Makam ini didesain seindah mungkin. Kalau Nahrasiyah bukan seorang yang terhormat dan punya jasa besar, mungkinkah makamnya dibuat sebagus mungkin?

Menurut J.P. Moquette dalam makalah "De Grafsteenen te Pase e Grisse vergeleken met dergelijke Monumenten uit Hindustan", nisan Nahrasiyah memiliki kesamaan dengan nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.

Julukan 'Penguasa yang Pemurah'

Nah, makam Nahrasiyah dihiasi dengan berbagai ornamen keren, kayak motif sulur-suluran, pola geometris, pohon, bunga, dan yang paling khas, ornamen kendi menggantung.

Di sisi barat dan timur makam Nahrasiyah, ada delapan kendi yang menggantung, simbol bendera Kerajaan Samudera Pasai.

Jumlah kendi ini melambangkan kerajaan-kerajaan yang mengakui dan memberi upeti kepada Samudera Pasai saat Nahrasiyah memimpin.

Di setiap sudut makam, ada pilar dengan pola geometris yang memberikan kesan kokoh dan kuat, seolah menjadi penyangga kerajaan.

Tampak depan nisan Sultanah Nahrasiyah
Bagian depan nisan Sultanah Nahrasiyah memuat pujian dan keterangan waktu wafatnya. (Foto: Repro buku Album Nisan Samudra Pasai)

Ada juga hiasan unik seperti motif tanaman yang menyerupai buah pisang dan bunga matahari. Bentuk kaki makamnya mengingatkan kita pada kaki candi, lengkap dengan detail berundak. Keren banget, kan?

Enggak cukup sampai situ, ada pula ukiran kaligrafi indah berhuruf dan berbahasa Arab. Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, bunyinya begini:

"lnilah makam yang bersinar suci bagi seorang sultanah yang sangat mulia, diberi rahmat dan apapun, yaitu Nahrasiyah yang bergelar Barabaghsa Khadiyu binti Sultan Syahid yang berbahagia Zainal Abidin ibn Sultan Ahmad ibn Sultan Muhamad ibn Malik Saleh; kepada mereka rahmat dan ampunan."

'Barabaghsa Khadiyu' berarti penguasa yang pemurah.

Demikianlah, Guys, cerita tentang Sultanah Nahrasiyah, seorang pemimpin perempuan yang berhasil mengukir namanya dalam sejarah Nusantara.

Melihat perjalanan hidup dan kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, kita bisa mengambil banyak pelajaran berharga.

Kisah Nahrasiyah menjadi inspirasi bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk memimpin dan membawa perubahan.

Semoga kisah ini bisa memotivasi kita untuk terus belajar dan berusaha menjadi yang terbaik. Keep inspiring and hustling! (dru)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan